BAB
6/7
KEMISKINAN
DAN KESENJANGAN
6/7.6
Kemiskinan di Indonesia
Setelah
indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode1997-1999
dan setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinanmenurun secara spektakuler
dari 40,1% menjadi 11,3%, jumlah orang miskinmeningkat kembali dengan tajam,
terutama selama krisis ekonomi. Studi yangdilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR
menunjukkan bahwa jumlah pendudukmiskin pada periode 1996-1998, meningkat
dengan tajam dari 22,5 juta jiwa(11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau
bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa(BPS,1999). Sementara itu,
International Labour Organization
(ILO)memperkirakan
jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999mencapai 129,6 juta jiwa
atau sekitar 66,3% dari seluruh jumlah penduduk (BPS,1999).Data dari BPS (1999)
juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998telah terjadi peningkatan
jumlah penduduk miskin hampir sama di
wilayah pedesaan dan perkotaan. Di wilayah pedesaan angka kemiskinan meningkatmenjadi
67,72%, sementara di perkotaan meningkat menjadi 61,1%. Secaraagregat,
persentase peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memanglebih
besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan perkotaan (4,72%).Akan
tetapi, selama dua tahun terakhir ini secara absolut jumlah orang
miskinmeningkat sekitar 140% atau 10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan,
sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa (lihat Remi dan
Tjiptoherijanto, 2002).Data di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat
penderitaan
penduduk perkotaan lebih parah daripada penduduk pedesaan. Menurut Thorbecke (1999),setidaknya
ada dua penjelasan atas hal ini. Pertama, krisis cenderung
memberi pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan, seperti perdagangan, perbankan dan konstruksi. Sektor-sektor ini membawa dampaknegatif
dan memperparah pengangguran di perkotaan. Kedua, pertambahan harga
bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk pedesaan karena merekamasih
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsistemyang
dihasilkan dan dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada
masyarakat perkotaan yang sistem produksi subsistemnya khususnya yang terkait dengan pemenuhan
kebutuhan makanan tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.Angka
kemiskinan ini jauh lebih besar jika dalam kategori kemiskinandimasukkan
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta jiwa. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim
piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yangtidak
memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan tetapi tidak cukup untukmemenuhi
kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebihmemprihatinkan daripada orang
miskin. Selain memiliki kekurangan pangan,sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable
group) ini
mengalamiketelantaran psikologis, sosial dan politik terutama menghinggapi para
pemuda dinegeri ini.Selain kelompok di atas, krisis ekonomi yang terjadi
meningkatkan jumlah orangyang bekerja di sektor informal. Merosotnya
pertumbuhan ekonomi,dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan pemerintah, serta
dirampingkannyastruktur industri formal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998)
memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungankerja
terhdap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern menurunkan
jumlah pekerja formal (terutama para pemuda) dari 35% menjadi 30%.Menurut
Tambunan (2000), sedikitnya setengahnya dari penganggur baru tersebutdiserap
oleh sektor informal serta industri kecil dan rumah tangga lainnya. Padasektor
informal perkotaan khususnya pedagang kaki lima mengalami peningkatanyang
sangat dramatis. Misalnya di Jakarta dan Bandung pada periode akhir
tahun1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300% (Kompas,
1998).Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat
besar.
Namun
demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di
atas, kondisi sosialekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam
keadaan miskin dan rentan.Departmen Sosial tidak pernah absen dalam mengkaji
masalah kemiskinan ini,termasuk melaksanakan Program-Program Kesejahteraan
Sosial dikenalPROKESOS yang dilaksanakan, baik secara intradepartmen
maupunantardepartmen bekerja sama dengan department-departmen lain secara
lintassektoral. Dalm garis besar pendekatan Depsos dalam menelaah dan
menanganikemsikinan sangat dipengaruhi oleh persefektif pekerjaan sosial (social
work). Pekerjaan
sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan profesi pertolongan kemanusiaan yangmemiliki
dasar-dasar keilmuan (body knowledge), nilai-nilai (body value), danketerampilan
(body of
skills) professional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan
tinggi pekerjaan sosial (S1, S2, dan S3).
Referensi: http://www.academia.edu/8249216/Kemiskinan_di_Indonesia_dan_upaya_pengentasannya_oleh_pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar