Jumat, 01 Mei 2015

6/7.6 Kemiskinan di Indonesia

BAB 6/7
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN

6/7.6 Kemiskinan di Indonesia
Setelah indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode1997-1999 dan setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinanmenurun secara spektakuler dari 40,1% menjadi 11,3%, jumlah orang miskinmeningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yangdilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah pendudukmiskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa(11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa(BPS,1999). Sementara itu,
 International Labour Organization
(ILO)memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3% dari seluruh jumlah penduduk (BPS,1999).Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hampir sama di wilayah pedesaan dan perkotaan. Di wilayah pedesaan angka kemiskinan meningkatmenjadi 67,72%, sementara di perkotaan meningkat menjadi 61,1%. Secaraagregat, persentase peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memanglebih besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan perkotaan (4,72%).Akan tetapi, selama dua tahun terakhir ini secara absolut jumlah orang miskinmeningkat sekitar 140% atau 10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan, sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa (lihat Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).Data di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan penduduk perkotaan lebih parah daripada penduduk pedesaan. Menurut Thorbecke (1999),setidaknya ada dua penjelasan atas hal ini. Pertama, krisis cenderung memberi pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan, seperti perdagangan, perbankan dan konstruksi. Sektor-sektor ini membawa dampaknegatif dan memperparah pengangguran di perkotaan. Kedua, pertambahan harga
bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk pedesaan karena merekamasih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsistemyang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat perkotaan yang sistem produksi subsistemnya khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan makanan tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.Angka kemiskinan ini jauh lebih besar jika dalam kategori kemiskinandimasukkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta jiwa. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yangtidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan tetapi tidak cukup untukmemenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebihmemprihatinkan daripada orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan,sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalamiketelantaran psikologis, sosial dan politik terutama menghinggapi para pemuda dinegeri ini.Selain kelompok di atas, krisis ekonomi yang terjadi meningkatkan jumlah orangyang bekerja di sektor informal. Merosotnya pertumbuhan ekonomi,dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan pemerintah, serta dirampingkannyastruktur industri formal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungankerja terhdap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern menurunkan jumlah pekerja formal (terutama para pemuda) dari 35% menjadi 30%.Menurut Tambunan (2000), sedikitnya setengahnya dari penganggur baru tersebutdiserap oleh sektor informal serta industri kecil dan rumah tangga lainnya. Padasektor informal perkotaan khususnya pedagang kaki lima mengalami peningkatanyang sangat dramatis. Misalnya di Jakarta dan Bandung pada periode akhir tahun1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300% (Kompas, 1998).Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar.
Namun demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosialekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam keadaan miskin dan rentan.Departmen Sosial tidak pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan ini,termasuk melaksanakan Program-Program Kesejahteraan Sosial dikenalPROKESOS yang dilaksanakan, baik secara intradepartmen maupunantardepartmen bekerja sama dengan department-departmen lain secara lintassektoral. Dalm garis besar pendekatan Depsos dalam menelaah dan menanganikemsikinan sangat dipengaruhi oleh persefektif pekerjaan sosial (social work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan profesi pertolongan kemanusiaan yangmemiliki dasar-dasar keilmuan (body knowledge), nilai-nilai (body value), danketerampilan (body of skills) professional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan sosial (S1, S2, dan S3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar