BAB 2/3
SEJARAH EKONOMI INDONESIA
2/3.
6 Cita-Cita
Ekonomi Merdeka
Perekonomian
global sedang anjlok. Namun, pada saat bersamaan, perekonomian Indonesia justru
tumbuh. Memasuki tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi 6,5
persen. Lalu, juga pada tahun 2013
mendatang, PDB Indonesia diperkirakan 1 Triliun USD.
Gara-gara
angka-angka di atas, banyak orang terkesima dengan performa ekonomi Indonesia.
Banyak yang mengira, dengan pertumbuhan ekonomi sepesat itu, bangsa Indonesia
sudah sejahtera. Lembaga rentenir Internasional, IMF (Dana Moneter
Internasional), turut terkesima dan memuja-muja pertumbuhan itu.
Namun, fakta
lain juga sangat mencengankan. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan
ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi
0,41. Padahal, pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33.
Data lain juga
menunjukkan, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia mencapai Rp680 Triliun (71,3
miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB. Konon, nilai kekayaan dari 40 ribu
orang itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang. Data lain
menyebutkan, 50 persen kekayaan ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang.
Ringkas cerita,
pertumbuhan ekonomi yang spektakuler itu tidak mencerminkan kesejahteraan
rakyat. Yang terjadi, sebagian besar aset dan pendapat ekonomi hanya dinikmati
segelintir orang. Sementara mayoritas rakyat tidak punya aset dan akses
terhadap sumber daya ekonomi. Akhirnya, terjadilah fenomena: 1% warga negara
makin makmur, sementara 99% warga negara hidup pas-pasan.
Akhirnya, kita
patut bertanya, apakah pembangunan ekonomi semacam itu yang menjadi cita-cita
kita berbangsa? Silahkan memeriksa cita-cita perekonomian kita ketika para
pendiri bangsa sedang merancang berdirinya negara Republik Indonesia ini.
Bung Hatta
pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya
dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia
Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat.
“Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk
sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung Hatta di
New York, AS, tahun 1960)
Karena itu, para
pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian merumuskan apa
yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar cita-cita
perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan
feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Artinya, dengan
penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita tidak menghendaki
ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan kemakmuran
di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat. Tegasnya,
cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.
Supaya cita-cita
perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka para pendiri
bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD
1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi pelaksanaan
politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam pasal 33
UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu
bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif
dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi
terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni
pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme). Dan
keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi, termasuk
pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sayang, sejak
orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur), proses
penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal 33 UUD 1945.
Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing
melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu, pada masa pasca
reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh
lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya,
cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas.
Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya,
yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah,
ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke
negeri-negeri kapitalis maju.
Ketimpangan ekonomi kian
menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik. Mayoritas rakyat
(75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan jaminan sosial.
Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara lain.Referensi: http://www.berdikarionline.com/editorial/20130118/cita-cita-perekonomian.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar