Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan
masyarakat sosial yang mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu
sama lain, seorang manusia tidak akan dapat hidup sendiri dan akan selalu
membutuhkan orang yang lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak
terlepas dari yang namanya kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat
tentu terdapat berbagai hal yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal,
mengikat dan memiliki sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Hal
tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas
merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar perseorangan atau
antar sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat
menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat
mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan
bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang
disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus
halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk
tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu
adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar
undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian.
Ø Pengertian Hukum
Perikatan
Hukum perikatan adalah
suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih
di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan.
Di dalam hukum perikatan
setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,
perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang
atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat
kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang
telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud
dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yangsifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telahdisepakati dalam perjanjian.
Ø Unsur-Unsur Perikatan
a. Subjek perikatan
Subjek perikatan
disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang
terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-Undang. Pelaku perikatan
terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan. Setiap
pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus:
1) Ada
kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2) Tidak
ada paksaan dari pihak manapun
3) Tidak
ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4) Tidak
ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan
b. Wenang berbuat
Setiap
pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam mencapai
persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan
saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang
satu menyatakan memberi sesuatau kepada yang dan menerima seseuatu dari pihak
lain. Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan
saling memberi dan menerima secara riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak
dalam perikatan harus memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang
ditentukan oleh undang-undang sebagai berikut:
1) Sudah
dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh
2) Walaupun
belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
3) Dalam
keadaan sehat akal (tidak gila)
4) Tidak
berada dibawah pengampuan
5) Memiliki
surat kuasa jika mewakili pihak lain
Perstujuan pihak
merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak untuk saling memenuhi
kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap perikatan. Persetujuan
kehendak juga menetukan saat kedua pihak mengakhiri perikatan karena tujuan
pihak sudah tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa perikatan menurut
sistem hukum prdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban dan hak
pihak-pihak, sedangkan persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau realisasi
kewajiban dan pihak-pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh hak
masing-masing.
Bagaimana jika halnya
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sehingga pihak lainnya tidak
memperoleh hak dalam perikatan ? dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pihak yang
tidak memenuhi kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang merugikan pihak
lain. Dengan kata lain, perjanjian tersebut dilanggar oleh salah satu pihak.
c. Objek perikatan
Objek
perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang
dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimilik dan
dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara
halal bagi orang yang memilikinya.
Benda
objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda
bergerak adalah benda yang dapat diangkat dan dipindahkan, seperti motor,
mobil, hewan ternak. Sedangkan benda tidak bergerak adalah benda yang tidak
dapat dipindahkan dan diangkat, seperti rumah, gedung. Apabila benda dijadikan
objek perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan
oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Benda
dalam perdagangan
2) Benda
tertentu atau tidak dapat ditentukan
3) Benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
4) Benda
tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang atau benda halal
5) Benda
tersebut ada pemiliknya dan dalam pengawasan pemiliknya
6) Benda
tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
7) Benda
itu dalam penguasaan pihak lain berdasar alas hak sah
d. Tujuan perikatan
Tujuan pihak-pihak
mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak.
Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang Undang-Undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan
masyarakat. Prestasi tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu,
kewajiban melakukan sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu
(Pasal 1234 KUH Perdata).
Ø Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum
perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber
dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata
terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
·
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
·
Perikatan yang timbul dari undang-undang.
·
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela
(zaakwaarneming).
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
·
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena
suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
·
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang lain atau lebih.
·
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir
karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai
akibat perbuatan orang.
Ø Asas-asas Dalam Hukum
Perikatan
1. Asas kebebasan
berkontrak
Asas ini mengandung
pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik
yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam
undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan
berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1.
Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3.
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4.
Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya
asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara
embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan
berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo
de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham
individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang
dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak,
asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in
menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya
persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan
intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme
memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai
golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah.
Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap
dalam exploitation de homme par l’homme.
2. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme
dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan
bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup
dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian
antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme
muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak
dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan
perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian
yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara
kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah
ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta
bawah tangan).
Dalam hukum Romawi
dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang
artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah
ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan
dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum
atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda
dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya
dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya
suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan
dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan
unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda
diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan
dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum
sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4. Asas Itikad Baik (Good
Faith)
Asas itikad baik
tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak,
yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para
pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi
(relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang
pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.
Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta
dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak)
menurut norma-norma yang objektif.
5. Asas Kepribadian
(Personality)
Asas kepribadian
merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau
membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan
dirinya sendiri.
Ø PRESTASI DAN WANPRESTASI
1. Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam
setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor.
Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik
yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini
dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan
dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan
wujud prestasi, yaitu:
a. Memberikan sesuatu, misalnya,
menyerahkan benda, membayar harga benda, dan memberikan hibah penelitian.
b. Melakukan sesuatu, misalnya,
membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan
rahasia perusahaan.
c. Tidak melakukan sesuatu,
misalnya, tidak melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping, dan tidak
menggunakan merek orang lain.
2. Sifat Prestasi
Sifat-sifat prestasi yang perlu diketahui oleh debitor adalah:
a.
Prestasi
harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Sifat ini memungkinkan debitor
memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat
ditentukan, mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).
b.
Prestasi
itu harus mungkin. Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor secara
wajar dengan segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat
dibatalkan (vernietigbaar)
c.
Prestasi
itu harus dibolehkan (halal). Artinya, tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan
masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan itu batal (nietig)
d.
Prestasi
itu harus ada manfaat bagi kreditor. Artinya, kreditor dapat menggunakan,
menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat
dibatalkan (vernietigbaar)
e.
Prestasi
itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi berupa
satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan
pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu
maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan lebih dari satu kali
perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir mengakhiri perikatan.
3. Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati
dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua
kemungkinan alasan, yaitu:
a.
Karena
kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b.
Karena
keadaan memaksa (force majeure, diluar kemampuan debitor.Jadi,
debitor tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan
wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan
sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan,
yaitu:
1. Debitor tidak memnuhi prestasi
sama sekali;
2. Debitor memenuhi prestasi,
tetapi tidak baika atau keliru; dan
3. Debitor memenuhi prestasi,
tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi,
perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia
memenuhi prestasi. Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut
ketentuan Pasal 1238 KUHPdt debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang
waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitor supaya dia memenuhi
prestasinya? Debitor perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan
bahwa debitor wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam
waktu itu debitor tidak memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau
wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga
secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui
pengadilan negeri yang berwenang, yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri
dengan perantaraan juru sita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada
debitor yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak
resmi, misalnya, melalui surat tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan
senidri oleh kreditor kepada debitor dengan tanda terima. Surat peringatan ini
disebut ingebreke
stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a.
Debitor
diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243
KUHPdt).
b.
Apabila
perikatan itutimbal balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan
melalui pengadilan (Pasal 1266 KUHPdt)
c.
Perikatan
untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi
wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt)
d. Debitor
diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e. Debitor
wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan
debitor dinyatakan bersalah
Ø Hapusnya Hukum Perikatan
Pasal 1381 secara tegas
menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
·
Pembayaran.
·
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsignasi).
·
Pembaharuan utang (novasi).
·
Perjumpaan utang atau kompensasi.
·
Percampuran utang (konfusio).
·
Pembebasan utang.
·
Musnahnya barang terutang.
·
Batal/ pembatalan.
·
Berlakunya suatu syarat batal.
·
Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Pembayaran
Pembayaran dalam arti
sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti
ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran
dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa
seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Konsignasi
Konsignasi terjadi
apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur,
debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika
kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di
pengadilan.
Novasi
Novasi adalah sebuah
persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu
perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga
macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
1.
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru
guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
2.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini
dinamakan novasi subjektif pasif).
3.
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur
baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif).
Kompensasi
Yang dimaksud dengan
kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling
memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur.
Konfusio
Konfusio adalah percampuran
kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi
satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal
oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan
harta kawin.