Sejarah Asal Usul
Danau Maninjau
Kali ini saya akan berbagi
tentang salah satu legenda di Negara kita, yaitu legenda Danau Maninjau yang
berada di Padang-Sumatra Barat. Saya sendiri merupakan asli keturunan berdarah
Minang, tepatnya yaitu daerah Koto Malintang yang berada dekat dengan Danau
Maninjau.
Waktu lalu saya pernah menanyakan
sejarah Danau Maninjau ini kepada ayah saya, singkat cerita
danau ini berasal
dari gunung yang meletus karena sumpah sepasang kekasih yang tidak mendapat
restu dari keluarga pihak perempuan. Namun karena ayah saya tidak mengetahui
betul cerita yang sebenarnya, saya pun mencari sejarahnya di Internet.
Beginilah ceritanya…..
Alkisah, di sebuah daerah di
Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau.
Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa
perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat
rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat
subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di
kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari
sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka
Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun,
Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama
Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan
bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama
meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga.
Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut
tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi
kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua
orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu
ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga
dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka
panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang
mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai
mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan
memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya
tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban
bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara
adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya
ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk
Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara
tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan
gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di
sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan
hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
Perkataan itu membuat jantung
Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun
membalasnya dengan untaian pantun.
Alangkah senang hati Giran
mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena
cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani
menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan
hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya
keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal
itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut
dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan
Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering
membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua
penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan
tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan
gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung
menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera
mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan
Giran turut ambil bagian dalam acara
tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan,
seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun
terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia
segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran
pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya
saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun
yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya.
Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta
berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan
Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu
peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan
yang seimbang.
Maka terjadilah pertarungan
sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara
bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh
Kukubun.
Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik
menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara
bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada
saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke
arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya
dengan kedua tangannya.
Rupanya, tangkisan Giran itu
membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan
dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal
dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum.
Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu
akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika
cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang
bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran
tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat,
melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
Dalam perbincangan antara Datuk
Limbatang dengan kesembilan kakaknya Siti Rasani, intinya adalah Kukuban
menolak mentah-mentah pinangan Giran kepada Sani, karena dendamnya kepada Giran
yang menurutnya telah mempermalukan dirinya didepan banyak orang pada saat
pertarungan waktu lalu.
Rupanya, Siti Rasani yang berada
di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar
putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia
idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung.
Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang
dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua
pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar.
Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah
ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
Beberapa lama mereka berunding di
tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan
kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri
tersangkut pada sarungnya.
Giran pun segera mencari daun
obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang
keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba
puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka
adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
Giran dan Sani pun tidak tahu
harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang
sedang mengintai gerak-gerik mereka.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring
ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya
dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri
perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani
telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan
memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung
itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai
hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut
terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke
seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani
diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang.
Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum
hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah!
Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak
bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan
kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan
kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh
kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak
bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan
Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah.
Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan
cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka
semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan.
Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang
sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir
menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang
berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung
Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang
selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra
Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas
dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung
itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara
nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama
nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto
Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang
dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral
yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam.
Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan
perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat
dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi
membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat
dipantangkan.